Dewasa ini, pengangguran di Indonesia masih terbilang sangat besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada bulan Agustus 2007 sebesar 10,01 juta orang atau 9,11 % dari angkatan kerja, dan pada bulan Agustus 2008 sebesar 9,39 juta orang atau 8,39 % dari total angkatan kerjan. Ironisnya, pengangguran terbuka didominasi oleh kalangan berpendidikan dan lulusan sarjana. Pengangguran dari kalangan berpendidikan ini disebut sebagai pengangguran terdidik. Sebagai contoh, pengangguran tingkat sarjana di Indonesia pada tahun 2007 berjumlah sekitar 740.000, dan awal tahun 2009 bertambah mendekati angka satu juta atau lebih dari 900.000 sarjana yang menganggur.
Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan tidak menjamin seseorang untuk bekerja. Lulusan perguruan tinggi yang telah menempuh pendidikan sejak pendidikan dasar sampai memperoleh predikat sarjana pun harus menganggur. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor dimana faktor tersebut berasal dari sarjana itu sendiri, lingkungan, dan sistem pendidikan yang ada.
Faktor lingkungan dalam hal ini berkaitan dengan kondisi negara yang belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi para pencari kerja. Faktor dari sarjana yaitu mereka tidak memiliki kompetensi yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh penyedia lapangan kerja atau menjadi penyedia lapangan kerja. Sedangkan faktor sistem pendidikan yaitu ketidakmampuan lembaga pendidikan dalam hal ini perguruan tinggi mencetak sarjana yang terampil, bukan saja sebagai tenaga kerja tetapi sebagai penyedia lapangan pekerjaan.
Melihat kondisi tersebut diperlukan upaya yang riil untuk mengatasi pengangguran terdidik. Tentunya harus dilihat kembali ketiga faktor yang telah disebutkan di atas. Ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Semua itu dapat dimulai dari lembaga pendidikan, yakni membuat sebuah sistem pendidikan yang mampu mencetak sarjana yang terampil sebagai tenaga kerja dan penyedia lapangan kerja. Sistem ini dilakukan dengan menjadikan perguruan tinggi sebagai pusat kewirausahaan (entrepreunial university).
Oleh sebab itu, salah satu strategi yang harus segera digalakkan oleh pemerintah dan perguruan tinggi dalam mewujudkan sekaligus mengembangkan perguruan tinggi sebagai pusat kewirausahaan dengan mendirikan suatu lembaga kewirausahaan yaitu “lembaga inkubator bisnis”.
Pada hakikatnya, lembaga inkubator bisnis merupakan suatu wadah pengembangan ide-ide yang didasarkan pada pengetahuan baru, metode-metode dan produk-produk yang dihasilkan. suatu lembaga yang mengembangkan calon pengusaha menjadi pengusaha yang mandiri melalui serangkaian pembinaan terpadu meliputi penyediaan tempat kerja/kantor, sarana perkantoran, bimbingan dan konsultasi manajemen, bantuan penelitian dan pengembangan, pelatihan, bantuan permodalan, dan penciptaan jaringan usaha baik lokal maupun internasional (Pedoman Pembinaan Pengusaha Kecil Melalui Inkubator, 1998/1999).
Untuk upaya mengembangkan kewirausahaan melalui lembaga inkubator bisnis, dengan melaksanakan salah satu strategi yang penting, yaitu “kemitraan (kerja sama dengan instansi terkait dan perusahaan)”. Untuk membentuk kemitraan-kemitraan ini. Perlu peranan pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk menciptakan kemitraan dan dapat pula memberikan fasilitas dan dukungan-dukungan lain seperti misalnya fasilitas penciptaan keserasian (match making), menyediakan bantuan keuangan dan keperluan-keperluan yang lainnya untuk menjembatani kemitraan antara kedua pihak tersebut (I Wayan Dipta, 2008).
Di samping peran pemerintah, perlu peran perusahaan-perusahaan besar untuk memberikan suatu dukungan, berkontribusi dan berperan aktif dalam pengembagangan lembaga inkubator bisnis di perguruan tinggi. Kebijakan ini sering disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan. Kebijakan CSR untuk pengembangan inkubator bisnis di perguruan tinggi merupakan salah satu upaya untuk mereduksi tingkat pengangguran, terutama pengangguran terdidik. Dan diharapkan bentuk kerja sama ini dapat menjadi bentuk kerja sama pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Sudah diakui bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi tanpa sangat ditentukan dengan sumber daya manusia suatu bangsa. Maka, perguruan tinggi dan perusahaan-perusahaan besar harus selalu bekerjasama satu sama lain guna mewujudkan sumber daya manusia yang terampil dan memenuhi kebutuhan kerja melalui program kewirausahaan di lembaga inkubator bisnis. Oleh karena itu, penulis mencoba mengangkat sebuah judul “C-INBIS”, Corporate Social Responsibility (CSR)- Inkubator Bisnis; Sinergitas Partnership Kebijakan CSR dan Lembaga Inkubator Bisnis di Perguruan Tinggi Sebagai Upaya Meningkatkan Program Kewirausahaan dan Mereduksi Tingkat Pengangguran Terdidik di Indonesia. Hal itu ditujukan guna membantu program pemerintah dalam mewujudkan sumber daya manusia dan upaya mereduksi serta mengentaskan angka pengangguran terdidik di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar